Friday, October 29, 2010

Let's enjoy Jakarta !!


Membaca ulasan di Koran Kompas hari Minggu lalu (24/10/10) mengenai “Sesaknya Hidup di Jakarta”, dimana digambarkan bahwa Jakarta saat ini memang sudah sangat padat penduduknya, sehingga pemandangan seperti kemacetan, berdesakdesakan, sudah menjadi hal yang lumrah. Saya lalu teringat pada pengalaman saya sendiri mengenai apa yang saya rasakan tentang kehidupan di Jakarta. Setelah beberapa tahun meninggalkan Jakarta dan tinggal di negara lain, tidaklah mudah untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri kembali dengan ritme kehidupan di Jakarta. Hal itulah yang saya alami. Tetapi justru dari situlah, ada pelajaran yang berharga yang bisa saya petik. Beginilah kisahnya.....


“Bagaimana mungkin saya bisa mencintai Jakarta? Debu, polusi, panas, dan macet di mana-mana, saya tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan saya di Jakarta”. Kalimat itu merupakan ungkapan saya beberapa bulan yang lalu, di saat orang-orang menanyakan bagaimana pendapat saya tentang kota di mana saya tinggal, Jakarta. Saya bahkan memiliki sebuah daftar yang panjang yang berisi tentang hal-hal yang tidak saya sukai dari Jakarta. Dari mulai udara yang panas sekali yang sering membuat kepala saya pusing karena tubuh saya mengalami dehidrasi, kemacetan yang sering membuat saya tidak nyaman karena perjalanan sepanjang 10 km bisa saya tempuh dalam waktu hampir 2 jam, banjir di musim hujan yang sering membuat kemacetan menjadi makin parah, tingkat debu dan polusi yang sangat tinggi yang sering membuat saya sulit untuk mendapatkan udara yang segar, dan masih banyak lagi lainnya.

Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang bisa terus menerus datang dari daerah ke Jakarta, sehingga menambah sesak jumlah penduduk Jakarta, hanya karena Jakarta menawarkan gemerlapnya kehidupan ibu kota, yang belum tentu gemerlap seperti apa yang dibayangkan. Menurut catatan harian Koran Kompas (Minggu, 24/10/2010), jumlah penduduk Jakarta berdasarkan Sensus Penduduk 2010 mencapai 9,6 juta jiwa. Wow !! Memang jumlah tersebut terlalu melebihi daya tampung Jakarta sebagai kota untuk tempat tinggal. Barangkali jika orang-orang menyukai gemerlapnya kehidupan di kota metropolitan seperti Jakarta, namun saya bukan yang termasuk di antaranya.

Apalagi semenjak beberapa tahun lalu saya tinggal di Maastricht, kota kecil di Belanda yang memiliki udara sejuk, bebas polusi dan bebas macet. Dan beberapa tahun kemudian, setelah saya menamatkan studi di Maastricht, saya lalu pindah ke Brisbane, Australia yang kotanya juga sejuk dan teratur rapi. Sejak saat itulah, image mengenai “kota yang indah” mulai tercipta dalam benak saya. Ketidaksukaan saya terhadap Jakarta setiap kali saya pulang ke Jakarta semakin meningkat. Saya jadi sering komplain dan uring-uringan apabila ada hal-hal yang sedikit saja membuat saya merasa tidak nyaman di Jakarta, karena sekarang saya memiliki perbandingan kota-kota lain yang pernah saya tinggali yang menurut saya memiliki kriteria sebagai kota yang lebih ideal dan layak untuk tempat tinggal.

Sampai suatu ketika saya bertemu dengan seorang ibu yang bekerja sebagai pemulung di Jakarta yang masih bisa tersenyum dengan tulusnya setiap kali saya bertemu dengannnya. Saya memiliki hobby jogging setiap pagi hari dan saya sering berlari-lari pagi di sebuah lapangan di dekat komplek perumahan tempat saya tinggal. Sering saya bertemu dengan ibu tersebut saat dia sedang mengais-ngais tempat sampah dari rumah ke rumah mencari botol bekas atau kardus bekas. Wajahnya yang tulus selalu membuat saya kagum dengan ketegarannya mengarungi kehidupan di Jakarta. Beberapa kali saya sempat duduk sebentar dan mengobrol dengan dia mengenai berbagai hal. Sampai suatu hari, ketika saya menanyakan rahasianya untuk tetap tersenyum dalam mengarungi kehidupan di Jakarta, dia mengatakan kepada saya,”Percuma aja, kalau Mbak jengkel terhadap apa yang Mbak rasakan di Jakarta. Buang-buang waktu Mbak aja. Nikmati sajalah apa yang ada, nanti Mbak akan nemuin banyak hal yang bisa Mbak nikmatin di Jakarta.”

Kalimatnya yang sederhana tetapi memiliki makna yang sangat dalam telah mengingatkan pada saya bahwa yang selama ini membuat saya merasa tidak nyaman tinggal di Jakarta bukanlah kondisi di Jakarta itu sendiri. Memang benar bahwa Jakarta penuh dengan kemacetan, banjir, panas, polusi debu, dsb. Tetapi dalam hal ini, saya sendiri yang menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga apa yang saya rasakan menjadi lebih dramatis dari kondisi aslinya. Saya sendiri yang menganggap seolah-olah Jakarta memang sebuah kota yang tidak layak untuk ditinggali sehingga apa yang saya hadapi dari kondisi di Jakarta menjadi sangat berat. Saya sendiri yang telah menggeser focus saya dari hal-hal yang bisa saya syukuri, menjadi hal-hal yang tidak saya suka tentang Jakarta. Terima kasih kepada Ibu Pemulung yang telah mengingatkan saya pada hal ini. She is really a great woman !!

Sejak saat itu, fokus saya menjadi berubah dari hal-hal yang tidak saya sukai ke hal-hal yang bisa saya nikmati seperti misalnya saya menyukai naik ojek motor yang sigap menembus jalan tikus sehingga saya bisa terhindar dari kemacetan, saya juga menikmati alunan suara pemusik jalanan yang hapal menyanyikan lagu-lagu terbaru, saya juga menikmati saat-saat mengobrol dengan penjual sayur langganan saya yang berjualan sayur keliling komplek dan selalu menawarkan sayur dengan lawakannya, saya juga menikmati makanan dari pedagang keliling seperti pedagang mie atau pedagang roti yang sewaktu-waktu bisa saya panggil apabila saya lapar tengah malam dengan harga yang sangat murah, dan masih banyak lagi hal-hal lainnya yang bisa saya nikmati. Semua itu merupakan bagian dari keunikan kehidupan Jakarta yang belum tentu saya temui di kota-kota di belahan dunia lain. Saya juga berhenti membandingkan Jakarta dengan kota-kota lain yang pernah saya singgahi. Karena hal tersebut tidak akan membantu saya dalam mengatasi ketidaknyamanan saya tentang Jakarta, tetapi justru memperumit situasi yang saya rasakan. Di samping itu saya yakin masing-masing kota memiliki keunikannya tersendiri, dan apakah kota tersebut terlihat “indah” atau tidak, semuanya adalah tergantung dari cara kita memandangnya.

Ternyata memang benar, ketika kita melihat sesuatu apa adanya, kita menjadi lebih "aware" atau lebih bisa melihat makna yang sesungguhnya dari sesuatu itu. Selain itu, dengan menerima sesuatu tersebut apa adanya, “konflik batin” yang kita alami akan berhenti dengan sendirinya dan tidak menyita perhatian dan energi kita. Sehingga kita bisa menerima dan menemukan banyak kenikmatan dan keindahan dari sesuatu tersebut. Kalaupun toh ada ketidaknyamanannya yang kita rasakan, misalnya dalam masalah yang saya ceritakan di atas tadi seperti macet, panas, dsb, kita bisa menjalani hal yang kurang nyaman tersebut dengan lebih semeleh atau easy going.

Jadi, janganlah melihat segala sesuatunya sebagaimana yang kita inginkan, tetapi lihatlah sesuatu tersebut sebagaimana adanya, maka kita akan menemukan arti yang sesungguhnya dari hal tersebut. So, let’s enjoy Jakarta !!

Ditulis oleh : Ati Paramita
Foto : Ondel-ondel Betawi di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta oleh Ati Paramita

Friday, September 10, 2010

Berganti haluan di dalam karier atau profesi

Salah seorang kawan lama menceritakan pada saya bahwa dia saat ini sedang gundah. Dia bekerja sebagai seorang sekretaris eksekutif di salah sebuah perusahaan multinasional. Pada saat kami bertemu, dia menuturkan bahwa menjadi seorang sekretaris sebetulnya hanyalah “sesuatu yang menjadi keharusan, tetapi bukan sesuatu yang menjadi keinginan”. Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa menjadi sekretaris adalah pekerjaan tempat dia mencari uang, tetapi sebetulnya pekerjaan itu bukanlah cita-citanya sesuai panggilan jiwanya, karena dia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang penyanyi. Dia menceritakan keheranannya pada saya mengapa kesempatan untuk menjadi penyanyi tidak kunjung datang padanya. Padahal bisa dibilang suaranya cukup merdu, dia juga memiliki paras dan sosok yang menunjang penampilannya sebagai seorang penyanyi, bahkan dia sering menjadi penyanyi gereja. Dia bahkan sempat menyabet penghargaan sebagai penyanyi terbaik di kampus ketika dia masih kuliah dulu.

Saya lalu bertanya kepadanya, seberapa jauh dan seberapa serius dia melakukan usaha untuk menggapai cita-citanya itu. Dia lalu menjawab bahwa kesibukannya sebagai sekretaris telah menyita seluruh perhatian dan waktunya sehingga dia tidak sempat memikirkan upaya untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang penyanyi.

Saya bisa memahami alasan dia tersebut. Secara logika, bisa dimengerti sih, karena dengan posisi dia sebagai sekretaris eksekutif di perusahaan asing, dimana dia harus melakukan berbagai tugas seperti mengatur pertemuan bisnis, mempersiapkan perjalanan bisnis, serta masih banyak tugas admistratif lainnya. Tentu saja, dengan kegiatan tersebut, dia memang menjadi sangat sibuk dan waktunya tersita banyak untuk pekerjaannya.

Namun ada hal yang menggelitik di dalam pikiran saya, apakah benar alasan yang dia utarakan itu memang berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam dan bukan karena alasan yang mendasar bahwa “ketakutan dia untuk memperjuangkan cita-citanya sebagai seorang penyanyilah yang sebetulnya menghalangi niatnya sendiri untuk mencapai cita-cita tersebut”.

Ketakutan di sini bisa berarti empat hal yaitu :

- Ketakutan untuk menghadapi ketidakpastian financial apabila dia melepaskan pekerjaannya sebagai seorang sekretaris, sementara kariernya di bidang menyanyi belum tentu menjanjikan,

- Kurangnya rasa percaya terhadap dirinya sendiri bahwa dia bisa menembus peta persaingan dunia penyanyi dan ketidakyakinan bahwa dirinya akan mampu mengatasi semua tantangan dalam upayanya menjadi seorang penyanyi,

- Keengganan untuk melakukan usaha yang optimal yang harus dia lakukan untuk berjuang menjadi seorang penyanyi (karena perjuangan menjadi seorang penyanyi terkenal tentu saja akan lebih sulit daripada menjadi seorang sekretaris) dan

- Ketidaksabaran ingin segera cepat berhasil atau sukses.

Ketakutan-ketakutan ini kadang semakin bertambah apabila lingkungan di sekitar kita misalnya orang tua, pasangan, adik, sahabat, semua juga ikut-ikutan memberikan stigma terhadap keinginan kita misalnya “buat apa jadi penyanyi, nanti hidupmu berantakan seperti kehidupan para selebriti, kan lebih baik kerja kantoran jadi sekretaris” atau ucapan yang merendahkan seperti “masak sih, kamu bisa jadi penyanyi terkenal, sepertinya kamu ga bakalan bisa deh”, atau “udah deh ga usah macem-macem pingin jadi penyanyi segala, kamu kan usianya udah kepala tiga, udah gitu udah punya anak pula, jadi ga usah aneh-aneh deh ” dan sebagainya.

Ketika saya menanyakan hal ini kepada teman saya tersebut, pelan-pelan dia menjawab “Iya, sih, mbak, memang saya yang selama ini kurang memiliki tekat yang bulat sehingga kurang memperjuangkan cita-cita saya tersebut, sehingga hal itu menjadi mengganjal di dalam pikiran saya”.

Sobat pembaca,

Kadang kita memiliki ketakutan dalam bentuk bayangan-bayangan yang kita ciptakan sendiri yang kemudian justru menghalangi kita untuk maju. Sebuah ungkapan bijak mengatakan “lebih mudah untuk memulai sebuah langkah daripada hanya membayangkannya di dalam pikiran”. Ungkapan tersebut mengajarkan kepada kita bahwa ketika kita memiliki keberanian untuk memulai sebuah langkah untuk mencapai sesuatu, ketakutan-ketakutan itu akan menjadi sirna dengan sendirinya. Karena kita menjadi tahu seberapa besar kemampuan kita dan seberapa besar medan yang kita hadapi, sehingga kita menjadi lebih realistis dalam memandang tujuan atau cita-cita kita. Kita bisa juga mempersiapkan langkah yang lebih tertata dan terarah dalam menggapai cita-cita tersebut.

Apabila anda kebetulan mengalami kondisi seperti apa yang teman saya alami, saya ingin share sedikit mengenai hal-hal yang bisa anda lakukan untuk mengatasi hal ini. 

Pertama, bulatkanlah tekad anda
Tekad atau keyakinan memanglah kata kunci yang utama yang menentukan seberapa jauh anda ingin berganti haluan. Karena ketika kita mengalami masa-masa yang sulit di tengah perjuangan kita, "tekad yang kuat" adalah modal utama yang mengembalikan motivasi kita dan mengingatkan kita akan tujuan kita. Jadi apabila anda memang ingin berganti haluan seperti teman saya tersebut, bulatkanlah tekad anda dan keyakinan anda. Untuk memantapkan tekad anda, anda bisa bertanya kepada diri sendiri dengan menuliskan di secarik kertas dan mengkaji ulang pertanyaan-pertanyaan di bawah ini “benarkah cita-cita ini yang saya inginkan?” atau “ apa untung ruginya bila saya berganti haluan?” atau “siapkah saya menghadapi semua resiko yang akan muncul apabila saya berganti haluan?”.

Apabila ternyata tekad anda memang sudah bulat, maka selanjutnya, untuk menguatkan tekad tersebut, anda bisa menulis kata-kata afirmasi seperti misalnya “saya yakin saya bisa mencapai cita-cita saya” atau “saya yakin bahwa cita-cita saya adalah pilihan yang terbaik buat saya” dan anda bisa menempelkannya di tempat-tempat yang sering anda lihat di dalam rumah atau di kantor. Anda bisa juga memajang foto penyanyi kesayangan anda, sehingga akan memberikan motivasi anda untuk berprestasi seperti penyanyi tersebut.

Agar tekad anda semakin kuat, anda bisa juga mulai memberikan keyakinan dan penjelasan kepada orang-orang terdekat di lingkungan sekitar anda mengenai cita-cita anda tersebut, sehingga mereka tidak lagi memiliki pandangan yang negative, tetapi justru dapat memberikan dukungan yang anda perlukan dalam mencapai cita-cita anda. Jadi intinya, langkah awal untuk berganti haluan adalah bulatkanlah tekad anda terlebih dahulu, setelah itu anda dapat menyusun strategi untuk menggapai cita-cita anda tersebut.

Kedua, kumpulkanlah segala informasi dan jalinlah networking.
Kumpulkanlah segala informasi yang berhubungan dengan cita-cita anda tersebut, misalnya bagaimana penyanyi kesayangan anda berjuang dari bawah hingga mencapai puncak kariernya atau bertanya kepada orang yang lebih piawai di dalam dunia tarik suara mengenai bagaimana cara melatih vocal agar lebih bagus lagi. Pelajarilah hal-hal tersebut, sehingga anda bisa mendapatkan informasi yang bermanfaat untuk langkah anda. Anda juga bisa mulai membuat networking di dunia yang anda minati untuk mendapatkan informasi-informasi yang anda butuhkan. Saat ini sudah tersedia banyak media untuk networking yang anda bisa lakukan lewat internet misalnya mengikuti milis-milis bagi mereka yang gemar olah suara, bergabung dengan facebook yang mengembangkan bakat menyanyi dsb. Dengan bergabung bersama orang-orang yang memiliki semangat yang tinggi dan minat yang serupa akan memberikan kita banyak manfaat seperti kita bisa mendapatkan: informasi yang kita inginkan, motivasi untuk maju, dan ruang untuk kita berekspresi.

Ketiga, buatlah langkah yang realistis.
Apabila memang cita-cita kita itu terlalu tinggi menurut ukuran kita, maka kita dapat memilah-milah cita-cita tersebut dalam tahapan-tahapan tertentu dan membuat urutan langkah yang lebih realistis dan mungkin untuk kita capai. Hal ini bisa dimulai dari mencoba menggapai target yang lebih rendah seperti misalnya dalam kasus teman saya tersebut, dia dapat mulai mengikuti kursus olah vocal untuk menyempurnakan tehnik menyanyinya, atau mencoba untuk menyanyi di event-event seperti pernikahan, launching produk yang diadakan perusahaan-perusahaan dan event-event lainnya sehingga nama dan reputasinya mulai dikenal orang. Dia bisa juga mengikuti dan mencoba memenangkan perlombaan menyanyi tingkat kota atau kabupaten. Langkah awal ini bisa dikembangkan dengan langkah-langkah lebih lanjut. Misalnya, apabila dia sudah berhasil di tahap awal, maka dia dapat mulai mengikuti perlombaan menyanyi yang lebih tinggi tingkatannya seperti perlombaan yang diadakan tv-tv swasta. Kemudian dia dapat juga membuat dan mengirimkan contoh suaranya ke perusahaan rekaman atau mem-publish rekaman menyanyinya lewat situs-situs di internet. Tentu saja tidak mudah perjuangannya, tapi perlahan-lahan apabila kita tekun dan berhasil mencapai target-target yang kecil tersebut, maka rasa percaya diri kita lambat laun akan makin naik, dan bahkan tanpa kita sadari kadang-kadang kesempatan-kesempatan yang lebih besar tiba-tiba datang di hadapan kita.

Keempat, bersiaplah dengan segala kemungkinan
Kemungkinan yang terburuk apabila anda berubah haluan di awal-awal karier yang anda pilih adalah masalah financial. Hal ini terutama bagi anda yang terbiasa hidup mapan dengan karier anda yang lama, maka anda harus bersiap menghadapi kondisi financial yang mungkin tidak sama atau lebih rendah terutama di awal-awal karier baru anda. Hal ini bisa anda siasati misalnya dengan menurunkan standar gaya hidup anda, sehingga anda bisa melakukan penghematan-penghematan dari sisi keuangan. Selanjutnya anda bisa juga mengumpulkan tabungan yang cukup yang anda kumpulkan ketika anda bekerja di profesi yang lama, sehingga bisa anda pakai untuk bekal hidup di awal profesi baru. Kalau anda ingin solusi yang lebih aman, anda bisa juga tetap bekerja di profesi lama anda, sembari mulai membuka peluang di profesi yang baru yang ingin anda tekuni. Sehingga anda tetap mendapatkan jaminan financial sampai anda yakin bahwa anda berhasil di profesi baru tersebut.

Kemungkinan berikutnya adalah apabila anda menghadapi tantangan-tantangan, seperti misalnya contoh rekaman suara anda ditolak oleh perusahaan rekaman, atau anda belum berhasil memenangkan perlombaan menyanyi. Janganlah anda menganggap hal tersebut sebagai sebuah kegagalan. Barangkali itu hanyalah merupakan sebuah peringatan bahwa anda masih perlu menyempurnakan strategi dan langkah anda. Jadi, anda bisa mengatasinya misalnya dengan meminta feedback dari para ahli di bidang tersebut, kemudian tetap terus berlatih dan menyempurnakan olah vocal atau penampilan anda, dan anda bisa juga mengirimkan contoh suara anda ke perusahaan rekaman lainnya. Jadi, bersiaplah dengan semua tantangan dan janganlah mudah menyerah. Karena kegigihan merupakan kunci dari keberhasilan anda.

Kelima, taklukkan diri sendiri.
Musuh terbesar kita dalam menggapai cita-cita tersebut sebetulnya bukanlah medan yang berat atau orang-orang yang kita hadapi, tetapi justru diri kita sendirilah yang seringkali menghalangi langkah kita. Kadang-kadang sering kita memiliki alasan-alasan yang selintas “tampak penting”, tapi sebetulnya alasan tersebut hanyalah alasan yang kita buat untuk menutupi kekurangan kita, misalnya seperti dalam kasus teman saya tersebut dia mengungkapkan “saya tidak punya waktu sama sekali karena pekerjaan saya cukup menyita waktu saya” atau “kayaknya lebih ringan dan saya bisa dapat penghasilan tetap kalau saya kerja dan duduk di kantor sebagai sekretaris daripada saya harus berjuang dari nol untuk menjadi penyanyi”. Saya hanya tersenyum mendengar pembelaan teman saya tersebut. Seperti saran saya di atas, kalau anda tidak yakin dengan kepastian financial di karier anda yang baru, sebaiknya memang pekerjaan utama tersebut jangan dilepaskan dulu sebelum anda yakin berhasil dalam cita-cita yang anda gapai. Namun bukan berarti hal tersebut menghalangi gerak anda dalam menggapai cita-cita anda bukan? Langkah-langkah seperti yang saya sarankan di atas (misalnya menjalin networking, menyanyi di event-event tertentu, melatih kesempurnaan suara) bisa anda jalankan di sela-sela kesibukan anda.

Apabila memang waktu anda tersita penuh, anda masih memiliki waktu luang di Sabtu dan Minggu, jadi waktu tersebut bisa anda optimalkan untuk menggali potensi anda. Apabila selama ini waktu anda tersita oleh urusan-urusan keluarga, maka mungkin sebaiknya anda perlu mengevaluasi kembali time management anda. Barangkali bukan anda yang kekurangan waktu tetapi anda yang kurang piawai mengelola waktu anda selama ini. Sebagai contoh, teman saya berhasil menjadi seorang Art Designer dan memiliki perusahaan design, padahal dulunya dia adalah seorang Accountant, dan kebetulan teman saya ini sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Ketika saya tanya bagaimana cara dia membagi waktu di tengah kesibukannya, dia cerita bahwa di jam kerja dia bekerja sebagai accountant, kemudian selepas jam kerja dia menggunakan waktunya efektifnya untuk memberikan perhatian kepada keluarga di sore dan malam hari, dan kemudian dia menunggu anaknya tidur pukul 8 malam, setelah itu antara pukul 9 malam hingga pukul 2 dini hari adalah waktu optimal dia untuk “bekerja dan berkreasi di bidang seni”. Intinya adalah apakah anda merasa “kekurangan waktu” atau anda “bisa menyiasati waktu”, semuanya tergantung kemauan anda. Saya yakin semua pasti ada solusinya, tinggal masalahnya adalah seberapa kuatkah keinginan anda menggapai cita-cita tersebut.

Dari apa yang saya sampaikan di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwa, apabila kita memang ingin berganti haluan di dalam karier atau profesi, kita tidak bisa menggapai cita-cita hanya dengan duduk berdiam diri atau membayangkannya saja di dalam pikiran kita. Karena hal itu tidak akan membuat cita-cita kita tercapai dengan sendirinya. Mulailah dengan membuat sebuah langkah kecil dan hargailah setiap langkah yang telah kita capai. Memang tantangan mungkin akan selalu ada, tetapi bukankah kita bisa belajar mengenai kelebihan dan kekurangan kita dari setiap tantangan yang kita hadapi. Selain itu tantangan juga merupakan cara untuk menyempurnakan langkah kita. Apabila kita dapat mengatasi setiap tantangan di dalam langkah kita, maka perlahan-lahan langkah-langkah itu akan membawa kita kepada tujuan yang kita impikan. Selamat berjuang !

Ditulis oleh : Ati Paramita
Foto : "Haluan perahu di Teluk Kiluan, Lampung" oleh Three Wy 

Monday, September 6, 2010

"Terima kasih dan syukur" adalah pembuka pintu kebahagiaan



Beberapa hari yang lalu, ada kejadian yang cukup menarik. Di saat saya berada di jalan raya dengan mengendarai mobil, tiba-tiba di salah satu perempatan yang saya lalui, pada saat lampu merah menyala dan mobil-mobil berhenti, ada seorang pengemis yang mendekati sebuah mobil di depan mobil saya. Setelah meminta-minta kepada pengemudi mobil di depan saya tersebut, saya melihat pengemis itu akhirnya mendapatkan uang koin dari si pengemudi. Tetapi yang membuat saya terkejut, tanpa mengucapkan terima kasih, tiba-tiba pengemis itu spontan membuang uang koin ke jalan raya dengan cara membantingnya di depan si pengemudi yang telah memberi uang koin tersebut. Si pengemis itu tidak sempat mendekati mobil saya, karena lampu hijau keburu menyala, sehingga mobil saya segera berlalu. Saya menduga mungkin si pengemis itu diberi uang koin sebesar Rp 100,- atau Rp 200,- oleh pengemudi mobil di depan saya tadi,  sehingga pengemis itu menganggap pemberian tersebut tidak ada artinya dan dia bersikap tidak mau menerima, tidak menghargainya, bahkan kemudian membuangnya.

Kejadian tersebut mengingatkan saya bahwa tanpa kita sadari kadang-kadang kita sering bertingkah laku seperti si pengemis itu saat kita menerima sesuatu yang menurut ukuran kita "tidak besar" atau “kurang” sehingga kita tidak menghargainya. Bahkan kita sering protes kepada Tuhan dan mengeluh apabila kita membandingkan apa yang kita miliki jauh berbeda dengan apa yang orang lain miliki, seperti misalnya “mengapa rumah saya tidak sebesar rumah si anu” “mengapa mobil saya tidak sebagus mobil si anu”, “ mengapa saya tidak sepintar si anu”, “mengapa gaji saya tidak sebanyak si anu”, “mengapa istri saya tidak secantik si anu”, dan masih banyak lagi lainnya.

Sebagai manusia memang kita dikelilingi oleh berbagai kondisi yang berbeda. Sikap membandingkan seperti contoh di atas, merupakan ekspresi tidak puas atas segala sesuatu yang kita miliki sehingga kita merasa terus kekurangan. Sikap ini justru akan mendatangkan energi negatif seperti iri hati dan memicu kita untuk selalu melihat ke dalam kondisi serba kekurangan, karena peristiwa apapun bagusnya kita menjadi terbiasa melihat kekurangannya daripada kelebihannya. Ujung-ujungnya, hal tersebut akan dapat membawa kegelisahan dan ketidakbahagiaan di batin kita, karena keinginan kita untuk memiliki sesuatu yang “lebih” tersebut tidak terpenuhi.

Sebaliknya, sikap menghargai apapun yang kita miliki akan membawa kita dalam kondisi bersyukur dan berkelimpahan, karena kita menjadi terbiasa menerima segala sesuatu sebagai karunia yang patut kita syukuri. Sekalipun sesuatu itu yang kita miliki atau alami mungkin tidak terlalu istimewa, tetapi kita selalu menganggap bahwa hal tersebut memang istimewa buat kita dan hal inilah yang akan membuka mata kita untuk melihat nilai-nilai positif dari segala sesuatunya, bahkan termasuk mendatangkan peluang dan kesempatan yang kadang orang lain belum tentu dapat melihatnya.

Di samping itu sikap bersyukur juga akan dapat menghemat energi kita, karena dengan bersyukur, konflik batin seperti kecemasan, kegelisahan, marah dan dendam yang kita miliki yang terjadi karena keinginan kita untuk memiliki sesuatu yang "lebih" tersebut tidak terpenuhi akan hilang dengan sendirinya. Sehingga kita akan dapat mencurahkan energi tersebut untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat.

Jadi mengapa kita tidak mencoba untuk mulai menghargai segala sesuatu yang kita miliki. Kalau kita melihat rumah kita yang kecil, lihatlah bahwa rumah itu telah berjasa menaungi kita di saat hujan dan panas. Kalau kita melihat bahwa mobil kita yang tidak lux, bukankah mobil tersebut telah berjasa membawa dan menemani kita dalam setiap aktifitas. Kalau kita merasa kita tidak sepintar atau secantik orang lain, bukankah kita memiliki bakat lain misalnya seperti pintar bergaul atau bakat kreatifitas seni atau olah raga yang belum tentu orang lain miliki. Kalau gaji kita tidak sebesar gaji orang lain, bukankah kita memiliki kesehatan yang prima dan keluarga dan teman-teman yang mengasihi kita yang mungkin perhatian mereka tidak bisa dinilai dengan uang.

Memang di dalam hidup ini banyak hal yang mungkin berjalan tidak sesuai seperti apa yang kita inginkan, bahkan ada banyak hal yang terjadi di luar kendali kita. Namun dengan membiasakan diri untuk selalu bersikap bersyukur dan berterima kasih, kita akan dapat melihat sisi positif dari apapun peristiwa yang kita alami. Jadi, marilah kita bersyukur dan berterima kasih atas hal-hal apapun di sekitar kita, sehingga pintu kebahagiaan akan selalu terbuka untuk kita.

Ditulis oleh : Ati Paramita
Foto :  "Terima kasih" di TMII, Jakarta oleh Ati Paramita

Wednesday, September 1, 2010

PR (Pekerjaan Rumah) di dalam kehidupan


Di saat kita masih kecil dan sekolah di SD, SMP atau SMA kita sering mendapat pekerjaan rumah (PR) atau homework. Saya ingat dulu ketika saya belum bisa menguasai sebuah konsep, misalnya ‘persamaan dalam matematika’, saya akan berulang-ulang mendapat PR tersebut, dan biasanya akan saya pelajari dan kerjakan setahap demi setahap. Kalau saya tidak mengerti dan memahaminya, saya akan mengupayakan berbagai cara untuk bisa menguasainya, misalnya, berdiskusi dengan guru saya, bertanya kepada teman yang lebih tahu tentang konsep itu, membuat catatan yang membantu saya mempetakan PR tersebut, membaca ulang dan latihan berkali-kali hingga akhirnya saya benar-benar mahir dan menguasai konsep itu. Setelah itu, baru pindah ke konsep atau PR selanjutnya.

Ketika saya mengamati kejadian-kejadian di sekeliling saya, sepertinya analogi PR ini tidak jauh beda dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya selalu mendapat PR di dalam hidup dari hal-hal yang memang tidak saya kuasai dan harus saya pelajari. Atau dengan kata lain ‘Saya bandel tidak sungguh-sungguh mengerjakannya’.

Ada dua perbedaan mendasar antara PR di sekolah dengan PR di kehidupan. Pertama, PR di kehidupan sifatnya unik dan individual. Maksudnya tiap-tiap orang akan mendapat PR yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan karakter dan perkembangan jiwanya. Apa yang menjadi PR bagi seseorang, belum tentu merupakan sebuah PR bagi orang lain. Sedangkan PR di sekolah sifatnya seragam, siapapun itu tanpa memandang bulu bagaimana kemampuannya, akan mendapatkan PR yang sama jenisnya.

Perbedaan kedua, biasanya rentang waktu PR di sekolah tidak panjang dan relative baku. Dengan kata lain, konsep yang sangat banyak dalam satu semester, mau tidak mau, harus bisa saya kuasai dalam waktu yang singkat. Itu juga kalau saya tidak mau menerima konsekuensi langsung seperti dimarahin orang tua atau guru, tertinggal dalam pelajaran atau tidak naik kelas. Di dalam kehidupan nyata, rentang waktu itu cukup panjang dan sangat fleksibel. Konsekuensinya pun biasanya tidak kita rasakan secara langsung. Bisa dibilang mungkin hanya kita sendiri yang bisa memberikan waktu untuk mengerjakan PR tersebut atau jika kita bandel atau tidak mau mengerjakannya, biasanya alam akan memberikan batas waktu dan konsekuensi kepada kita, dalam bentuk tingkat kerumitan yang lebih tinggi, seperti misalnya kita bisa mendapat 2 atau 3 PR sekaligus karena kemarin-kemarin kita menunda mengerjakan PR-PR lama tersebut.

Yang menambah tingkat kompleksitas PR di dalam hidup ini menjadi makin rumit, biasanya adalah tanpa kita sadari pikiran kita sering memanipulasi waktu dan konsekuensi tersebut. Walhasil, kita sering merasa bahwa kita “sudah mengerjakan PR tersebut”, tapi kita heran sendiri, mengapa PR itu masih datang terus menerus. Hal inilah yang kadang-kadang membuat kita seperti terpojok, stress, depresi dan sebagainya.

Sebuah contoh yang nyata, beberapa tahun yang lalu saya selalu mengalami masalah dengan kesehatan saya. Dalam satu tahun mungkin bisa 3-4 kali saya mengalami flu. Setiap kali saya sakit flu, saya selalu meminum obat bebas atau pergi ke dokter sehingga saya bisa sembuh dalam waktu yang relatif singkat dan saya bisa segera kembali beraktifitas di kantor. Pada saat tubuh saya membaik dari sakit flu, selintas sepertinya saya sudah mengerjakan PR saya tersebut. Dan saya berharap bahwa PR “flu” itu tidak akan datang lagi. Tetapi kenyataannya “flu” kembali datang menemani saya setiap 3 – 4 bulan sekali, terutama ketika kondisi saya lagi banyak tugas, makan tidak teratur, tidak pernah berolah raga, kurang istirahat, dan sebagainya.

PR yang datang berkali-kali tersebut sebetulnya memberikan signal kepada saya bahwa “saya belum mengerjakan PR mengenai masalah kesehatan saya dengan sungguh-sungguh”. Hingga suatu ketika saya jatuh sakit cukup lama sekitar 2 bulan. Ketika sakit tersebut, saya mencoba menggali lebih dalam “mengapa saya bisa sakit yang cukup lama”. Dan akhirnya saya menemukan jawabannya bahwa ternyata selama ini saya cuek atau tidak terlalu care dengan kesehatan saya.

Pada saat saya menyadari konsekuensi dari tindakan tersebut, maka tidak hanya cara saya mengatasi permasalahan tersebut berubah, tetapi juga cara berpikir saya pun berubah. Saya menjadi mengerti bahwa agar hasilnya efektif, saya harus menyelesaikan PR saya bukan hanya dari permukaannya saja tetapi bahkan sampai ke akar permasalahan tersebut.

Sejak saat itu, saya menganggap bahwa “Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak dapat tergantikan”. Karena saya pikir, percuma saja saya memiliki segala macam achievement kalau saya tidak bisa menikmatinya karena saya sakit. Sehingga saya optimalkan energi saya untuk memperoleh kesehatan yang prima tersebut. Saya rutin berolah raga seperti jogging dan yoga, saya juga lebih easy going, pasrah dan tidak ngoyo dengan segala sesuatu yang terjadi pada saya, saya lebih sering melakukan relaksasi dalam bentuk meditasi. Akhirnya, ketika saya menjadi lebih mandiri, maka ketergantungan saya terhadap “jalan penyelesaian instan” dalam masalah kesehatan tersebut (seperti minum obat bebas atau pergi ke dokter) menjadi sangat berkurang. Dan karena kesehatan saya menjadi prima, sehingga sekarang flu itu menjadi enggan menemani saya lagi.

Contoh lain, kakak selalu mengalami masalah dengan ‘ketersediaan seorang pembantu di dalam rumah tangganya’. Kakak saya dulunya adalah seorang wanita karier yang sukses dan sangat sibuk. Dia tinggal dengan suami dan 2 orang anaknya, karena itu kehadiran pembantu rumah tangga sangat mendukung sekali dalam kehidupan dia untuk bisa berperan sebagai wanita karier sekaligus sebagai istri dan ibu.

Bisa dibilang sudah banyak sekali pembantu keluar masuk bekerja. Bukan karena kakak saya adalah seorang majikan yang jahat seperti tokoh antagonis yang sering muncul dalam film-film. Tetapi kakak saya justru seorang yang sangat baik. Sifat kakak saya yang memang pemurah, dia mempunyai tingkat toleransi yang sangat tinggi, tidak pelit dalam memberikan gaji atau bonus-bonus lainnya, sangat care terhadap pembantu seperti ketika pembantu sakit, dia akan dengan senang hati membawanya ke dokter, dia juga selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi seorang pembantu seperti memberikan waktu pembantu untuk refreshing di saat weekend, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun, berbagai record cerita tentang pembantunya yang keluar masuk bisa kita simak, mulai dari pembantunya yang keluar karena diajak temannya, pembantu lari dari rumah, pembantu pamit pulang lebaran dan tidak kembali lagi, dan masih banyak lagi cerita lainnya.

Sampai suatu ketika kakak saya tertekan karena masalah ketersediaan pembantu yang tidak pernah ajeg sehingga mulai menganggu keseimbangan perannya. Akhirnya setelah stress yang cukup lama, suatu saat dia memutuskan untuk tidak mau tergantung kepada ketersediaan pembantu sama sekali. Dalam arti kata “ada pembantu ya syukur, ga ada pembantu juga ga papa”. Dia kemudian membeli mesin cuci agar bisa melakukan kegiatan mencuci sendiri, dia juga mulai belajar memasak dan mulai memasak sendiri untuk suami dan anak-anaknya, dia juga belajar membersihkan rumah sendiri dan banyak kegiatan lain yang semula dilakukan oleh pembantu, mulai bisa dia tangani sendiri. Setahap demi setahap ketergantungan dengan ketersediaan pembantu itu berkurang dan kakak saya mulai mandiri. Semenjak saat itu, anehnya, kakak saya malah tidak pernah mengalami masalah dengan ketersediaan pembantu sama sekali, dia bahkan menjadi lebih mandiri di dalam mengatasi persoalan-persoalan lain di dalam hidupnya.

Dari kedua kejadian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa, apakah kita mau atau tidak dengan sungguh-sungguh mengerjakan PR kita dalam kehidupan, pilihannya terserah pada kita. Kita bisa bersikap “nanti dulu ah” atau “masak sih kita harus berubah”, semuanya adalah hak kita dan tidak ada orang lain yang dapat memaksa kita untuk berubah. Tetapi, kita juga perlu bertanya lebih lanjut kepada diri kita, apakah kita juga siap menerima konsekuensi dan segala macam akibat, kalau kita tidak mau berubah?. Kembali, jawabannya terserah pada kita karena hanya hati kita sendiri yang tahu.

Jadi, bagaimanakah dengan anda? Sudahkah anda mengerjakan PR anda dengan sungguh-sungguh? Apabila ada kejadian atau permasalahan yang terjadi berulang-ulang dalam kehidupan anda , mungkin itu suatu pertanda bahwa masih ada PR yang harus anda kerjakan. Janganlah anda tunda untuk mengerjakan PR tersebut. Karena jika anda bisa menyelesaikan PR anda tersebut dengan tuntas, maka berarti anda telah “lulus” atau “naik tingkat” di dalam mengatasi persoalan tersebut di kehidupan anda. So, let’s do it !

Ditulis oleh : Ati Paramita
Foto : "Homework" oleh Ati Paramita 

Thursday, January 28, 2010

Seberkas harapan dalam kehidupan


Jika ada sebuah gurun, pasti ada sebuah telaga di tengahnya
Meskipun mungkin hanya kecil
Jika ada sebuah hutan belantara, pasti ada cahaya di dalamnya
Meskipun sangat jarang kita temukan


Hidup kadang tampak seperti membingungkan
Dan mungkin berkali-kali kita tak dapat menemukan jalan keluarnya
Bukan karena solusi yang tidak tersedia
Ataupun karena kemampuan kita yang terbatas

Kita jarang melihatnya
Hanya karena cara pandang kita yang tidak realistis
Kita sering memiliki harapan yang terlalu tinggi
Tapi kita tidak punya kesabaran dan kegigihan untuk mengejarnya


Harapan itu selalu ada di sana
Tetapi tergantung kita apakah kita mau mencarinya atau tidak
Jika kita yakin, bisa, tentu saja kita pasti bisa

Ditulis oleh : Ati Paramita
Foto : Keindahan kuntum bunga dalam kegelapan oleh Three Wy

Tuesday, January 26, 2010

Selamat Menikmati "Nuansa Embun Pagi"



Sobat pembaca,

Menanggapi saran dari beberapa pembaca dan teman-teman (baik yang disampaikan secara langsung maupun via email) agar saya membuat blog khusus yang berbahasa Indonesia. Bersama ini dengan senang hati saya perkenalkan versi bahasa Indonesia dari blog saya sebelumnya yaitu “Early Morning Dew” (http://atiparamita.blogspot.com/), dengan judul “Nuansa Embun Pagi”. Dengan adanya blog ini, maka blog saya yang sebelumnya “Early Morning Dew” akan tetap menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris.

Blog “Nuansa Embun Pagi” ini masih mengangkat tema yang sama dengan “Early Morning Dew” yaitu mengenai kehidupan dengan segala pernak-perniknya, seperti : bagaimana kita menyikapi kehidupan, bagaimana agar hidup kita lebih bermakna, bagaimana kita mensyukuri setiap saat yang kita miliki dan sebagainya.

Di sela-sela kesibukan aktifitas saya, saya akan berusaha untuk tetap meng-update blog ini. Harapan saya, semoga “Nuansa Embun Pagi” ini dapat memberikan nuansa yang menyejukkan di hati pembaca semuanya. Terima kasih banyak atas saran serta dukungan para pembaca dan teman-teman semuanya. Akhir kata, semoga keceriaan selalu menemani setiap langkah anda. 


Mari kita nikmati kehidupan ini !

Salam,

Ati Paramita

Foto : Embun pagi di Garut, Jawa Barat oleh Three Wy