Friday, October 29, 2010

Let's enjoy Jakarta !!


Membaca ulasan di Koran Kompas hari Minggu lalu (24/10/10) mengenai “Sesaknya Hidup di Jakarta”, dimana digambarkan bahwa Jakarta saat ini memang sudah sangat padat penduduknya, sehingga pemandangan seperti kemacetan, berdesakdesakan, sudah menjadi hal yang lumrah. Saya lalu teringat pada pengalaman saya sendiri mengenai apa yang saya rasakan tentang kehidupan di Jakarta. Setelah beberapa tahun meninggalkan Jakarta dan tinggal di negara lain, tidaklah mudah untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri kembali dengan ritme kehidupan di Jakarta. Hal itulah yang saya alami. Tetapi justru dari situlah, ada pelajaran yang berharga yang bisa saya petik. Beginilah kisahnya.....


“Bagaimana mungkin saya bisa mencintai Jakarta? Debu, polusi, panas, dan macet di mana-mana, saya tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan saya di Jakarta”. Kalimat itu merupakan ungkapan saya beberapa bulan yang lalu, di saat orang-orang menanyakan bagaimana pendapat saya tentang kota di mana saya tinggal, Jakarta. Saya bahkan memiliki sebuah daftar yang panjang yang berisi tentang hal-hal yang tidak saya sukai dari Jakarta. Dari mulai udara yang panas sekali yang sering membuat kepala saya pusing karena tubuh saya mengalami dehidrasi, kemacetan yang sering membuat saya tidak nyaman karena perjalanan sepanjang 10 km bisa saya tempuh dalam waktu hampir 2 jam, banjir di musim hujan yang sering membuat kemacetan menjadi makin parah, tingkat debu dan polusi yang sangat tinggi yang sering membuat saya sulit untuk mendapatkan udara yang segar, dan masih banyak lagi lainnya.

Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang bisa terus menerus datang dari daerah ke Jakarta, sehingga menambah sesak jumlah penduduk Jakarta, hanya karena Jakarta menawarkan gemerlapnya kehidupan ibu kota, yang belum tentu gemerlap seperti apa yang dibayangkan. Menurut catatan harian Koran Kompas (Minggu, 24/10/2010), jumlah penduduk Jakarta berdasarkan Sensus Penduduk 2010 mencapai 9,6 juta jiwa. Wow !! Memang jumlah tersebut terlalu melebihi daya tampung Jakarta sebagai kota untuk tempat tinggal. Barangkali jika orang-orang menyukai gemerlapnya kehidupan di kota metropolitan seperti Jakarta, namun saya bukan yang termasuk di antaranya.

Apalagi semenjak beberapa tahun lalu saya tinggal di Maastricht, kota kecil di Belanda yang memiliki udara sejuk, bebas polusi dan bebas macet. Dan beberapa tahun kemudian, setelah saya menamatkan studi di Maastricht, saya lalu pindah ke Brisbane, Australia yang kotanya juga sejuk dan teratur rapi. Sejak saat itulah, image mengenai “kota yang indah” mulai tercipta dalam benak saya. Ketidaksukaan saya terhadap Jakarta setiap kali saya pulang ke Jakarta semakin meningkat. Saya jadi sering komplain dan uring-uringan apabila ada hal-hal yang sedikit saja membuat saya merasa tidak nyaman di Jakarta, karena sekarang saya memiliki perbandingan kota-kota lain yang pernah saya tinggali yang menurut saya memiliki kriteria sebagai kota yang lebih ideal dan layak untuk tempat tinggal.

Sampai suatu ketika saya bertemu dengan seorang ibu yang bekerja sebagai pemulung di Jakarta yang masih bisa tersenyum dengan tulusnya setiap kali saya bertemu dengannnya. Saya memiliki hobby jogging setiap pagi hari dan saya sering berlari-lari pagi di sebuah lapangan di dekat komplek perumahan tempat saya tinggal. Sering saya bertemu dengan ibu tersebut saat dia sedang mengais-ngais tempat sampah dari rumah ke rumah mencari botol bekas atau kardus bekas. Wajahnya yang tulus selalu membuat saya kagum dengan ketegarannya mengarungi kehidupan di Jakarta. Beberapa kali saya sempat duduk sebentar dan mengobrol dengan dia mengenai berbagai hal. Sampai suatu hari, ketika saya menanyakan rahasianya untuk tetap tersenyum dalam mengarungi kehidupan di Jakarta, dia mengatakan kepada saya,”Percuma aja, kalau Mbak jengkel terhadap apa yang Mbak rasakan di Jakarta. Buang-buang waktu Mbak aja. Nikmati sajalah apa yang ada, nanti Mbak akan nemuin banyak hal yang bisa Mbak nikmatin di Jakarta.”

Kalimatnya yang sederhana tetapi memiliki makna yang sangat dalam telah mengingatkan pada saya bahwa yang selama ini membuat saya merasa tidak nyaman tinggal di Jakarta bukanlah kondisi di Jakarta itu sendiri. Memang benar bahwa Jakarta penuh dengan kemacetan, banjir, panas, polusi debu, dsb. Tetapi dalam hal ini, saya sendiri yang menciptakan kondisi yang sedemikian rupa sehingga apa yang saya rasakan menjadi lebih dramatis dari kondisi aslinya. Saya sendiri yang menganggap seolah-olah Jakarta memang sebuah kota yang tidak layak untuk ditinggali sehingga apa yang saya hadapi dari kondisi di Jakarta menjadi sangat berat. Saya sendiri yang telah menggeser focus saya dari hal-hal yang bisa saya syukuri, menjadi hal-hal yang tidak saya suka tentang Jakarta. Terima kasih kepada Ibu Pemulung yang telah mengingatkan saya pada hal ini. She is really a great woman !!

Sejak saat itu, fokus saya menjadi berubah dari hal-hal yang tidak saya sukai ke hal-hal yang bisa saya nikmati seperti misalnya saya menyukai naik ojek motor yang sigap menembus jalan tikus sehingga saya bisa terhindar dari kemacetan, saya juga menikmati alunan suara pemusik jalanan yang hapal menyanyikan lagu-lagu terbaru, saya juga menikmati saat-saat mengobrol dengan penjual sayur langganan saya yang berjualan sayur keliling komplek dan selalu menawarkan sayur dengan lawakannya, saya juga menikmati makanan dari pedagang keliling seperti pedagang mie atau pedagang roti yang sewaktu-waktu bisa saya panggil apabila saya lapar tengah malam dengan harga yang sangat murah, dan masih banyak lagi hal-hal lainnya yang bisa saya nikmati. Semua itu merupakan bagian dari keunikan kehidupan Jakarta yang belum tentu saya temui di kota-kota di belahan dunia lain. Saya juga berhenti membandingkan Jakarta dengan kota-kota lain yang pernah saya singgahi. Karena hal tersebut tidak akan membantu saya dalam mengatasi ketidaknyamanan saya tentang Jakarta, tetapi justru memperumit situasi yang saya rasakan. Di samping itu saya yakin masing-masing kota memiliki keunikannya tersendiri, dan apakah kota tersebut terlihat “indah” atau tidak, semuanya adalah tergantung dari cara kita memandangnya.

Ternyata memang benar, ketika kita melihat sesuatu apa adanya, kita menjadi lebih "aware" atau lebih bisa melihat makna yang sesungguhnya dari sesuatu itu. Selain itu, dengan menerima sesuatu tersebut apa adanya, “konflik batin” yang kita alami akan berhenti dengan sendirinya dan tidak menyita perhatian dan energi kita. Sehingga kita bisa menerima dan menemukan banyak kenikmatan dan keindahan dari sesuatu tersebut. Kalaupun toh ada ketidaknyamanannya yang kita rasakan, misalnya dalam masalah yang saya ceritakan di atas tadi seperti macet, panas, dsb, kita bisa menjalani hal yang kurang nyaman tersebut dengan lebih semeleh atau easy going.

Jadi, janganlah melihat segala sesuatunya sebagaimana yang kita inginkan, tetapi lihatlah sesuatu tersebut sebagaimana adanya, maka kita akan menemukan arti yang sesungguhnya dari hal tersebut. So, let’s enjoy Jakarta !!

Ditulis oleh : Ati Paramita
Foto : Ondel-ondel Betawi di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta oleh Ati Paramita

No comments:

Post a Comment