Wednesday, September 1, 2010

PR (Pekerjaan Rumah) di dalam kehidupan


Di saat kita masih kecil dan sekolah di SD, SMP atau SMA kita sering mendapat pekerjaan rumah (PR) atau homework. Saya ingat dulu ketika saya belum bisa menguasai sebuah konsep, misalnya ‘persamaan dalam matematika’, saya akan berulang-ulang mendapat PR tersebut, dan biasanya akan saya pelajari dan kerjakan setahap demi setahap. Kalau saya tidak mengerti dan memahaminya, saya akan mengupayakan berbagai cara untuk bisa menguasainya, misalnya, berdiskusi dengan guru saya, bertanya kepada teman yang lebih tahu tentang konsep itu, membuat catatan yang membantu saya mempetakan PR tersebut, membaca ulang dan latihan berkali-kali hingga akhirnya saya benar-benar mahir dan menguasai konsep itu. Setelah itu, baru pindah ke konsep atau PR selanjutnya.

Ketika saya mengamati kejadian-kejadian di sekeliling saya, sepertinya analogi PR ini tidak jauh beda dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya selalu mendapat PR di dalam hidup dari hal-hal yang memang tidak saya kuasai dan harus saya pelajari. Atau dengan kata lain ‘Saya bandel tidak sungguh-sungguh mengerjakannya’.

Ada dua perbedaan mendasar antara PR di sekolah dengan PR di kehidupan. Pertama, PR di kehidupan sifatnya unik dan individual. Maksudnya tiap-tiap orang akan mendapat PR yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan karakter dan perkembangan jiwanya. Apa yang menjadi PR bagi seseorang, belum tentu merupakan sebuah PR bagi orang lain. Sedangkan PR di sekolah sifatnya seragam, siapapun itu tanpa memandang bulu bagaimana kemampuannya, akan mendapatkan PR yang sama jenisnya.

Perbedaan kedua, biasanya rentang waktu PR di sekolah tidak panjang dan relative baku. Dengan kata lain, konsep yang sangat banyak dalam satu semester, mau tidak mau, harus bisa saya kuasai dalam waktu yang singkat. Itu juga kalau saya tidak mau menerima konsekuensi langsung seperti dimarahin orang tua atau guru, tertinggal dalam pelajaran atau tidak naik kelas. Di dalam kehidupan nyata, rentang waktu itu cukup panjang dan sangat fleksibel. Konsekuensinya pun biasanya tidak kita rasakan secara langsung. Bisa dibilang mungkin hanya kita sendiri yang bisa memberikan waktu untuk mengerjakan PR tersebut atau jika kita bandel atau tidak mau mengerjakannya, biasanya alam akan memberikan batas waktu dan konsekuensi kepada kita, dalam bentuk tingkat kerumitan yang lebih tinggi, seperti misalnya kita bisa mendapat 2 atau 3 PR sekaligus karena kemarin-kemarin kita menunda mengerjakan PR-PR lama tersebut.

Yang menambah tingkat kompleksitas PR di dalam hidup ini menjadi makin rumit, biasanya adalah tanpa kita sadari pikiran kita sering memanipulasi waktu dan konsekuensi tersebut. Walhasil, kita sering merasa bahwa kita “sudah mengerjakan PR tersebut”, tapi kita heran sendiri, mengapa PR itu masih datang terus menerus. Hal inilah yang kadang-kadang membuat kita seperti terpojok, stress, depresi dan sebagainya.

Sebuah contoh yang nyata, beberapa tahun yang lalu saya selalu mengalami masalah dengan kesehatan saya. Dalam satu tahun mungkin bisa 3-4 kali saya mengalami flu. Setiap kali saya sakit flu, saya selalu meminum obat bebas atau pergi ke dokter sehingga saya bisa sembuh dalam waktu yang relatif singkat dan saya bisa segera kembali beraktifitas di kantor. Pada saat tubuh saya membaik dari sakit flu, selintas sepertinya saya sudah mengerjakan PR saya tersebut. Dan saya berharap bahwa PR “flu” itu tidak akan datang lagi. Tetapi kenyataannya “flu” kembali datang menemani saya setiap 3 – 4 bulan sekali, terutama ketika kondisi saya lagi banyak tugas, makan tidak teratur, tidak pernah berolah raga, kurang istirahat, dan sebagainya.

PR yang datang berkali-kali tersebut sebetulnya memberikan signal kepada saya bahwa “saya belum mengerjakan PR mengenai masalah kesehatan saya dengan sungguh-sungguh”. Hingga suatu ketika saya jatuh sakit cukup lama sekitar 2 bulan. Ketika sakit tersebut, saya mencoba menggali lebih dalam “mengapa saya bisa sakit yang cukup lama”. Dan akhirnya saya menemukan jawabannya bahwa ternyata selama ini saya cuek atau tidak terlalu care dengan kesehatan saya.

Pada saat saya menyadari konsekuensi dari tindakan tersebut, maka tidak hanya cara saya mengatasi permasalahan tersebut berubah, tetapi juga cara berpikir saya pun berubah. Saya menjadi mengerti bahwa agar hasilnya efektif, saya harus menyelesaikan PR saya bukan hanya dari permukaannya saja tetapi bahkan sampai ke akar permasalahan tersebut.

Sejak saat itu, saya menganggap bahwa “Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak dapat tergantikan”. Karena saya pikir, percuma saja saya memiliki segala macam achievement kalau saya tidak bisa menikmatinya karena saya sakit. Sehingga saya optimalkan energi saya untuk memperoleh kesehatan yang prima tersebut. Saya rutin berolah raga seperti jogging dan yoga, saya juga lebih easy going, pasrah dan tidak ngoyo dengan segala sesuatu yang terjadi pada saya, saya lebih sering melakukan relaksasi dalam bentuk meditasi. Akhirnya, ketika saya menjadi lebih mandiri, maka ketergantungan saya terhadap “jalan penyelesaian instan” dalam masalah kesehatan tersebut (seperti minum obat bebas atau pergi ke dokter) menjadi sangat berkurang. Dan karena kesehatan saya menjadi prima, sehingga sekarang flu itu menjadi enggan menemani saya lagi.

Contoh lain, kakak selalu mengalami masalah dengan ‘ketersediaan seorang pembantu di dalam rumah tangganya’. Kakak saya dulunya adalah seorang wanita karier yang sukses dan sangat sibuk. Dia tinggal dengan suami dan 2 orang anaknya, karena itu kehadiran pembantu rumah tangga sangat mendukung sekali dalam kehidupan dia untuk bisa berperan sebagai wanita karier sekaligus sebagai istri dan ibu.

Bisa dibilang sudah banyak sekali pembantu keluar masuk bekerja. Bukan karena kakak saya adalah seorang majikan yang jahat seperti tokoh antagonis yang sering muncul dalam film-film. Tetapi kakak saya justru seorang yang sangat baik. Sifat kakak saya yang memang pemurah, dia mempunyai tingkat toleransi yang sangat tinggi, tidak pelit dalam memberikan gaji atau bonus-bonus lainnya, sangat care terhadap pembantu seperti ketika pembantu sakit, dia akan dengan senang hati membawanya ke dokter, dia juga selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi seorang pembantu seperti memberikan waktu pembantu untuk refreshing di saat weekend, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun, berbagai record cerita tentang pembantunya yang keluar masuk bisa kita simak, mulai dari pembantunya yang keluar karena diajak temannya, pembantu lari dari rumah, pembantu pamit pulang lebaran dan tidak kembali lagi, dan masih banyak lagi cerita lainnya.

Sampai suatu ketika kakak saya tertekan karena masalah ketersediaan pembantu yang tidak pernah ajeg sehingga mulai menganggu keseimbangan perannya. Akhirnya setelah stress yang cukup lama, suatu saat dia memutuskan untuk tidak mau tergantung kepada ketersediaan pembantu sama sekali. Dalam arti kata “ada pembantu ya syukur, ga ada pembantu juga ga papa”. Dia kemudian membeli mesin cuci agar bisa melakukan kegiatan mencuci sendiri, dia juga mulai belajar memasak dan mulai memasak sendiri untuk suami dan anak-anaknya, dia juga belajar membersihkan rumah sendiri dan banyak kegiatan lain yang semula dilakukan oleh pembantu, mulai bisa dia tangani sendiri. Setahap demi setahap ketergantungan dengan ketersediaan pembantu itu berkurang dan kakak saya mulai mandiri. Semenjak saat itu, anehnya, kakak saya malah tidak pernah mengalami masalah dengan ketersediaan pembantu sama sekali, dia bahkan menjadi lebih mandiri di dalam mengatasi persoalan-persoalan lain di dalam hidupnya.

Dari kedua kejadian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa, apakah kita mau atau tidak dengan sungguh-sungguh mengerjakan PR kita dalam kehidupan, pilihannya terserah pada kita. Kita bisa bersikap “nanti dulu ah” atau “masak sih kita harus berubah”, semuanya adalah hak kita dan tidak ada orang lain yang dapat memaksa kita untuk berubah. Tetapi, kita juga perlu bertanya lebih lanjut kepada diri kita, apakah kita juga siap menerima konsekuensi dan segala macam akibat, kalau kita tidak mau berubah?. Kembali, jawabannya terserah pada kita karena hanya hati kita sendiri yang tahu.

Jadi, bagaimanakah dengan anda? Sudahkah anda mengerjakan PR anda dengan sungguh-sungguh? Apabila ada kejadian atau permasalahan yang terjadi berulang-ulang dalam kehidupan anda , mungkin itu suatu pertanda bahwa masih ada PR yang harus anda kerjakan. Janganlah anda tunda untuk mengerjakan PR tersebut. Karena jika anda bisa menyelesaikan PR anda tersebut dengan tuntas, maka berarti anda telah “lulus” atau “naik tingkat” di dalam mengatasi persoalan tersebut di kehidupan anda. So, let’s do it !

Ditulis oleh : Ati Paramita
Foto : "Homework" oleh Ati Paramita 

No comments:

Post a Comment